KONKRIT NEWS
24/06/21, 24.6.21 WIB
Last Updated 2021-06-24T11:18:06Z
Bandar LampungHukum dan Kriminal

Dituduh Sebagai Ekstrimis dan Radikal, Mahasiswa Teknokrat Gugat Rektor di PTUN

Advertisement


Bandar Lampung - Empat mahasiswa menggugat Rektor Universitas Teknokrat Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung. Sidang kedua yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan TUN Bandar Lampung Tedi Romyadi, S.H., M.H. pada Rabu (23/6/2021) masih pada tahap dismissal prosedur atau proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Yang menjadi objek gugatan tersebut adalah Surat Keputusan DO dan Skorsing yang diterbitkan oleh Rektor Universitas Teknokrat.

Gugatan dengan nomor 23/G/2021/PTUN.BL, 24/G/2021/PTUN.BL, 25/G/2021/PTUN.BL, 26/G/2021/PTUN.BL dilayangkan oleh LBH Bandar Lampung sebagai kuasa dari empat mahasiswa Teknik Sipil yang diberikan sanksi DO dan Skorsing pada 8 Juni 2021 kepada Rektor Universitas Teknokrat Indonesia melalui Pengadilan TUN Bandar Lampung. Gugatan tersebut adalah salah satu upaya hukum yang dilakukan empat mahasiswa tersebut, setelah upaya-upaya non litigasi dilakukan. Sebelumnya pada tanggal 22 April 2021 telah dilakukan upaya mediasi, namun kampus tetap kukuh dengn keputusannya untuk memberikan sanksi dengan dalih melanggar ketentuan akademik.

Namun klarifikasi yang diberikan pihak kampus senyatanya sangat berbeda dengan apa yang menjadi dasar objek gugatan. Bahwa yang menjadi dasar penerbitan SK tersebut sangat mengada-ada dan sama sekali tidak berdasar. Kampus menuduh mahasiswa yang tergabung di dalam Hima Teknik Sipil telah menggagu ketentraman dan ketertiban masyarakat serta berpotensi menjadi kegiatan yang bersifat ekstrimisme dan radikalisme. Bahwa tuduhan dan stigma negatif tersebut diketahui berkaitan dengan aktifitas Hima Teknik Sipil yang mendirikan sekretariat di luar kampus.

Pendirian sekret di luar kampus tentu beralasan, karena pihak kampus sendiri tidak menyediakan sekret khusus yang dapat digunakan untuk kegiatan organisasi dan kemahasiswaan. Pihak Hima sendiri telah melakukan upaya permohonan sekret khusus namun tidak digubris oleh pihak kampus. Bukan memberikan fasilitas bagi kegiatan organisasi dan kemahasiswaan serta menjamin kebebasan akademik, berekspresi dan berserikat pihak kampus justru memberangus hak dasar mahasiswa yang semestinya dijamin, dilindungi dan dihormati oleh pihak kampus. Sanksi DO dan Skorsing dengan pemberian stigma mengganggu kettenraman dan ketertiban masyarakat serta berpotensi menjadi kegiatan yang bersifat ekstrimisme dan radikalisme sangat merugikan mahasiswa yang selama ini berkontribusi aktif dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Upaya dengan mengajukan gugatan ke PTUN diambil sebagai langkah strategis yang dilakukan oleh LBH Bandar Lampung sebagai pendamping hukum untuk mendapatkan kepastian dan penyelesaian yang berkeadilan bagi mahasiswa yang menjadi korban kediktatoran kampus. Namun sangat disayangkan baru pada agenda sidang kedua, mahasiswa diduga telah mendapatkan intervensi dalam bentuk intimidasi dan iming-iming dari pihak kampus melalui senior ke empat mahasiswa teknik sipil tersebut. Dugaan intimidasi dan iming-iming pencabutan sanksi akan dilakukan dengan syarat menyutujui dan menandatangani surat pernyataan bahwa telah mengakui kesalahan dan mencabut gugatannya.

LBH Bandar Lampung sangat mengecam dengan adanya upaya tersebut, karena telah mengingkari proses-proses hukum formil yang sedang berjalan dengan mengintervensi pihak yang sedang berperkara di luar persidangan sehingga mencederai proses-proses peradilan yang bersih dan adil. Perbuatan yang diduga oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut mencerminkan tidak profesionalnya pihak kampus karena tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Padahal sebelumnya LBH Bandar Lampung telah membuka pintu komunikasi seluas-luasnya kepada pihak kampus untuk mempertimbangkan apa yang menjadi tuntutan mahasiswa tersebut. Bahwa mahasiswa merupakan korban pelanggaran HAM karena dicap mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat dan melakukan kegiatan yang berpotensi ekstrimisme dan radikalisme sehingga harus kehilangan hak atas pendidikan, bereskpresi, berserikat dan berkumpul yang seharusnya dijamin, dilindungi dan dihormati oleh kampus sebagai bentuk tunduk dan patuhnya terhadap konstitusi. (Rls/KN)