KONKRIT NEWS
28/02/24, 28.2.24 WIB
Last Updated 2024-02-28T15:14:45Z
Hukum dan Kriminalpolitik

Dugaan Suap Oknum Penyelenggara Pemilu di Bandar Lampung Bisa Dipidana, ABR Siap Kawal Sampai DKPP

Advertisement
Mulyadi Yansyah, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Bela Rakyat (YLHBR)


Bandar Lampung - Ramainya pemberitaan salah satu caleg buka suara terkait adanya transaksi uang yang diduga melibatkan oknum penyelenggara Pemilu dari Panwascam, PPK, bahkan Komisioner KPU Bandar Lampung, mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan masyarakat salah satunya muncul dari Yayasan Lembaga Hukum Bela Rakyat (YLHBR) atau yang akrab dikenal Advokat Bela Rakyat (ABR). 


Menurut ABR, ini bukan hanya sekedar isu, karena M. Erwin Nasution Caleg Bandar Lampung secara gamblang  mengungkapkan diberbagai media bahwa oknum anggota KPU Bandar Lampung bersama Ketua PPK Kedaton, Ketua Panwascam Kedaton dan Way Halim telah menerima uang total Rp760 juta dengan embel-embel menjanjikan dirinya akan menang di Pemilu 2024.


Menyikapai hal itu, Mulyadi Yansyah Ketua Advokat Bela Rakat (ABR) mengatakan jelas ini sangat mencedrai proses perjalanan Demokrasi khusunya di Kota Bandar Lampung. 


“Bagaimana Demokrasi kita bisa berjalan baik jika masih ada okunum penyelenggara yang bermain-main dengan calon tertentu untuk kepentingan pribadinya,” ucapnya, Rabu (28/2/2024).


Sambung dia, Ini bukan hanya sekedar pelanggaran etik bagi penyelenggara, tapi bisa masuk keranah pidana baik si pemberi atau si penerima money politic atau suap.


Contoh kasus pada pemilu 2019 lalu, DKPP pernah memutuskan perkara yang sama dengan putusan terbukti bersalah, dan putusannya saat itu bisa dijadikan alat bukti bagi kejaksaan untuk menjerat oknum caleg dan oknum penyelenggara ke ranah pidana.


“Yah kita tunggu saja sanksi apa yang akan mereka terima. Mari kita kawal bersama demi tegaknya keadilan karena perkara ini sangat melukai hati masyarakat. Mau percaya kepada siapa lagi kami ini selaku masyarakat, jika masih ada oknum nakal di tubuh penyelenggara Pemilu,” ujarnya.


Menurut Mulyadi Yansyah, kasus ini sama dengan yang pernah terjadi pada pemilu sebelumnya. Namun, jika sanksi putusannya kemudian berbeda, patut dipertanyakan. 


“Yang jelas, pemberi dan penerima suap bisa sama-sama dipidana,” terangnya. 


Terkait cabut laporan yang dilakukan pihak Caleg, itu memang haknya. Sama halnya seperti statmen yang dikeluarkan oleh Ketua Bawaslu Provinsi Lampun Iscardo P Panggar belum lama ini bahawa itu adalah hak Prerogatif dari si Pelapor. 


Meskipun demikian, sambung Mulyadi Yansyah, bukan berarti mencabut laporan tersebut akan menghilangkan pokok pemasalahan. 


“ABR siap kawal sampai ke DKPP,” pungkasnya.


Terpisah, Tamri, Anggota Bawaslu Provinsi Lampung Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya akan melakukan kajian awal selama dua hari kedepan untuk menentukan apakah syarat formil dan meterilnya terpenuhi. 


“Jika dari hasil kajian awal tersebut syaratnya sudah terpenuhi maka kami akan segera melakukan registrasi serta menentukan masuk dalam kategori pelanggaran etik, pidana, administrasi atau pelanggaran hukum lainnya,” ungkap Tamri, Rabu (28/2/2024). 


Lanjut Tamri, berkaitan dengan pelanggaran etik, Bawaslu akan melakukan klarifikasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu. 


“Hasil dari klarifikasi tersebut kita akan buat kajian kembali yang hasilnya akan diteruskan ke DKPP,” terangnya. 


Terkait masalah pidana, sambung dia, Bawaslu Lampung belum bisa memastikan apakah itu memiliki unsur tindak pidana Pemilu.


“Saya tidak berbicara tentang pidana umum karena bukan kewenangan kami, kewenangan Bawaslu adalah tindak pidana Pemilu,” ujarnya. 


Jika ternayata ada unsur tindak pidana Pemilu, maka pada Jumat 30 Februari 2024 nanti, Bawaslu akan membahas perkara tersebut ke Sentra Gakumdu yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. 


“Jika tidak terbukti ada pelanggan tindak pidana Pemilu, maka kami akan membahas terkait pelanggaran etiknya,” tutup Tamri. 


Sangat disayangkan, padahal sudah jelas jika kita merujuk pada Peraturan DKPP No. 2 tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilu, pada Bab III Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilu Pasal 8 telah dijelaskan bahawa dalam melaksanakan prinsip mandiri, Penyelenggara Pemilu harus bersikap dan bertindak sebagai berikut;


a. netral atau tidak memihak terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan/atau peserta Pemilu;


b. menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan

menghindari intervensi pihak lain;


c. tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu;


d. tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye dan pemilih;


e. tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu;


f. tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak menanyakan pilihan politik kepada orang lain;


g. tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan lembaga Penyelenggara Pemilu;


h. menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa, janji atau pemberian lainnya dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari peserta Pemilu, calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan tim kampanye kecuali dari sumber APBN/APBD sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan;


i. menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberian lainnya secara langsung maupun tidak langsung dari perseorangan atau lembaga yang bukan peserta Pemilu dan tim kampanye yang bertentangan dengan asas kepatutan dan melebihi batas maksimum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;


j. tidak akan menggunakan pengaruh atau kewenangan bersangkutan untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu;


k. menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta Pemilu, dan tim kampanye;


l. menghindari pertemuan yang dapat menimbulkan kesan publik adanya pemihakan dengan peserta Pemilu tertentu.            


(Putra/KN)