KONKRIT NEWS
Jumat, Juli 25, 2025, 14:28 WIB
Last Updated 2025-07-25T07:28:56Z
Hukum dan KriminalLampung

Proyek Penyelamat Nyawa Justru Jadi Sumber Masalah: Di Mana Nurani BPBD?

Advertisement


Lampung – Proyek pengadaan sistem peringatan dini bencana (Early Warning System/EWS) oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung tahun anggaran 2024 disorot tajam. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), proyek senilai Rp5,82 miliar ini terindikasi bermasalah dan berpotensi merugikan keuangan negara.


Dalam laporannya, BPK mengungkap bahwa proyek yang seharusnya menyelamatkan nyawa warga melalui deteksi dini banjir, justru gagal berfungsi dan diduga hanya diselesaikan secara formalitas demi mencairkan dana 100 persen.


Proyek tersebut dikerjakan oleh PT IVE berdasarkan Surat Perintah Kerja Nomor 08/SPK.EWS/V1.08/2024 tanggal 18 November 2024, dengan masa pelaksanaan 43 hari hingga 31 Desember 2024. Anehnya, meskipun pelaksanaan proyek tidak terbukti berjalan sesuai fungsi, pembayaran penuh telah dilakukan per 15 Mei 2025.


Menurut Berita Acara Serah Terima (BAST) tertanggal 27 Desember 2024, sebanyak 63 unit perangkat EWS telah diserahterimakan. Namun, hasil inspeksi BPK hanya menemukan empat unit perangkat di lokasi yang dijanjikan, yakni Desa Purwodadi, Kecamatan Way Sulan, Lampung Selatan. Sisanya tidak ditemukan dan keberadaannya tidak jelas.


Lebih ironis, dari 62 unit yang tercatat di sistem pemantauan daring ews.invix.id, hanya dua perangkat yang terdeteksi dalam kondisi aktif (online), sementara sisanya offline. Ini menguatkan dugaan bahwa sebagian besar perangkat tidak pernah berfungsi.


Pengujian teknis pun tidak dilakukan di lapangan, melainkan hanya berupa demo terbatas di kantor penyedia tanpa verifikasi fungsi sebenarnya seperti pengiriman data curah hujan atau tinggi muka air ke sirine dan command center. Padahal, sistem ini dirancang sebagai jaringan terintegrasi yang vital dalam mitigasi bencana.


Pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu semestinya dikenai denda keterlambatan minimal Rp703 juta, sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021. Namun hingga kini, penyedia baru menyetorkan Rp35 juta ke kas daerah. Artinya, terdapat kekurangan Rp668 juta yang belum diproses.


Lebih mengejutkan lagi, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada tindakan tegas dari pejabat terkait, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), baik untuk menagih denda kekurangan maupun membatalkan kontrak.


Kasus ini mendapat sorotan tajam dari Lembaga Advokat Bela Rakyat Indonesia (ABR-I) Lampung. Mulyadi Yansyah, S.H., CM., menyebutkan bahwa proyek EWS yang besar namun hasilnya nihil ini tidak bisa dianggap sekadar kesalahan administratif.


“Jika merujuk UU Tipikor, pekerjaan fiktif atau pengadaan barang yang tidak berfungsi bisa menjadi objek penyidikan aparat penegak hukum, termasuk Kejati Lampung. Ini menyangkut integritas pemerintah daerah dalam melindungi rakyat,” ujarnya, Jumat, 25 Juli 2025.


Ia menegaskan, meski ada upaya pengembalian anggaran, hal itu tidak serta-merta menghapus unsur pidana. Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, pengembalian uang negara hanya menjadi faktor yang meringankan dalam persidangan, bukan alasan untuk menghindar dari jerat hukum.


Mulyadi juga mencontohkan kasus serupa di tahun 2016 yang membuat pejabat dan rekanan divonis lima tahun penjara karena pengadaan fiktif.


“Apakah sejarah akan terulang di BPBD Lampung? Dari 63 unit yang dilaporkan terpasang, hanya empat yang benar-benar ada di lapangan. Sisanya nihil. Itu artinya uang negara mengalir untuk sesuatu yang tidak pernah direalisasikan,” tegasnya.


Mulyadi Yansyah menyatakan bahwa pihaknya bersama sejumlah LSM akan melaporkan dugaan pekerjaan fiktif ini ke aparat penegak hukum. Ia menekankan bahwa pengembalian dana tidak bisa menghapus tindakan pidana.


“Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Kejati Lampung harus bertindak sebagaimana Kejari di Pringsewu, Way Kanan, dan Lampung Timur dalam kasus-kasus korupsi sebelumnya,” ujarnya.


Hingga berita ini diturunkan, pihak BPBD Provinsi Lampung belum memberikan tanggapan. Nomor telepon Kepala BPBD Lampung, Rudy Syawal, tidak aktif saat dikonfirmasi.


Kasus ini menambah daftar panjang proyek pemerintah daerah yang bermasalah dan mengindikasikan lemahnya pengawasan serta akuntabilitas penggunaan anggaran negara. (Redaksi | Tim Investigasi)