Advertisement
![]() |
Gambar ilustrasi |
Bandar Lampung – Di bawah terik matahari, puluhan warga tampak berkumpul di bawah rindangnya pohon mangga di sudut kampung Way Dadi. Dari raut wajah mereka terlihat semburat rasa kekhawatiran. Ada gejolak disanubari menanti proses eksekusi yang mungkin sebentar lagi bisa terjadi.
Ya, mereka bukan sedang membicarakan musim tanam atau harga beras, melainkan sesuatu yang lebih mendasar tentang status tanah tempat mereka tinggal selama puluhan tahun.
Saat itu, kebetulan sekali saya sedang disana dan mendengar percakapan tersebut. Karena menarik sehingga saya tertarik bergabung dan menyimaknya.
Seorang warga bercerita rumahnya dibangun sejak tahun 1986. Dari dulu dirinya tinggal disana bahkan sampai beranak cucu. Tapi sampai sekarang mereka belum dapat kejelasan tentang tanahnya yang masih disebut aset Pemprov.
Bagi warga Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya, lahan yang mereka tempati bukan sekadar sebidang tanah, tetapi bagian dari sejarah hidup. Sebagian warga sudah tinggal sejak era 1970-an, bahkan sebelum wilayah itu berkembang menjadi kawasan padat seperti sekarang. Namun, status tanah yang tercatat sebagai aset milik Pemerintah Provinsi Lampung membuat posisi mereka menjadi serba salah.
Tanah di kawasan tersebut tercatat sebagai tanah milik Pemprov Lampung, yang pada masa lalu direncanakan untuk kepentingan pengembangan fasilitas pemerintahan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat yang sebagian besar merupakan pegawai negeri, buruh, dan pedagang kecil mulai menetap dan membangun rumah.
Kini, setelah puluhan tahun, generasi kedua bahkan ketiga telah tumbuh dan menetap di atas lahan itu. Mereka membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), memiliki kartu keluarga, dan menjadi bagian dari sistem sosial setempat. Meski begitu, tanpa status kepemilikan yang jelas, mereka hidup dalam ketidakpastian.
Melalui sejumlah pertemuan dan surat permohonan resmi, masyarakat dari tiga wilayah tersebut meminta kepada Pemerintah Provinsi Lampung untuk mempertimbangkan pelepasan aset tanah, dengan dasar bahwa kawasan itu sudah lama ditempati warga secara turun-temurun atau singkatnya demi kepentingan rakyat.
Ditempat yang sama, beberapa ibu rumah tangga turut mengeluh, bukan mereka tidak menghormati aturan, tapi hanya ingin kepastian. Mereka sudah lama hidup di lokasi tersebut, membangun tanpa bantuan pemerintah, membayar pajak, dan menjaga lingkungan. Pada dasarnya, mereka hanya ingin diakui.
Puluhan Warga yang berkumpul saat itu berharap belas kasih Pemprov bisa menempuh mekanisme pelepasan aset yang sesuai aturan, misalnya dengan penetapan status penghapusan barang milik daerah (BMD) melalui persetujuan DPRD, dan kemudian dialihkan kepada masyarakat yang telah menduduki lahan tersebut selama puluhan tahun.
Sejumlah akademisi hukum dan pemerhati kebijakan publik rupanya sudah sering berkomentar. Mereka menilai, permintaan masyarakat memiliki dasar sosial dan kemanusiaan yang kuat. Namun, tentu harus diimbangi dengan mekanisme hukum yang sah sesuai ketentuan pengelolaan barang milik daerah.
Dijelaskan, pemerintah bisa menempuh pendekatan win-win solution. Ada dasar untuk melakukan pelepasan aset jika memang sudah tidak digunakan untuk kepentingan umum dan telah lama diduduki masyarakat.
Sembari menanti keputusan pemerintah, warga tetap melanjutkan kehidupan seperti biasa. Anak-anak masih bermain dilingkungannya, para ibu menjemur pakaian di halaman, dan para bapak duduk di warung kopi membicarakan kabar terbaru dari pemerintah daerah.
Bagi mereka, tanah di Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya bukan sekadar aset, tapi tanah kehidupan tempat mereka tumbuh, bekerja, dan berjuang.
Disela percakapan yang santai namun serius, datanglah beberapa orang yang mengaku sebagai Advokat Bela Rakyat Indonesia (ABR-I). Mereka langsung bertanya, "sedang apa nih kumpul-kumpul kayaknya serius obrolan," ujar pentolan Advokat Bela Rakyat Indonesia tersebut.
Sontak salah satu warga menjawab, "biasalah kami lagi ngobrolin nasib pak, nasib tanah yang kami duduki puluhan tahun yang sudah turun temurun. Pemerintah meminta kami untuk membayarnya, namun kami warga sepakat meminta pemerintah untuk dapat melakukan pelepasan aset dengan pertimbangan yang sangat jelas soal kepentingan rakyat".
Menangkap keluhan dari obrolan para warga, pentolan Advokat Bela Rakyat Indonesia (ABR-I) langsung bereaksi.
"Meskipun rumit dan harus melalui proses serta prosedur yang jelas dan benar, intinya ini soal keberpihakan. Jika pemimpin-pemimpin kita dalam hal ini para pemangku kebijakan berpihak terhadap kepentingan rakyat, bukan hal yang mustahil pelepasan aset tersebut bisa terjadi. Saya tegaskan lagi, ini soal kepentingan dan keberpihakan," tegas pentolan Advokat Bela Rakyat Indonesia (ABR-I) itu.
Di tengah geliat pembangunan dan tuntutan penataan aset daerah, kisah warga Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang rasa keadilan dan pengakuan terhadap rakyat kecil yang telah menjadi bagian dari perjalanan daerah itu sendiri. (Putra)